Kakawin Hariwangsa

Latar Belakang Kakawin Hariwangsa ditulis oleh Mpu Panuluh pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya dari Kerajaan Kediri, tahun 1135-1157. Cerita ini beraroma khas Nusantara, karena banyak hal yang berbeda dengan kisah aslinya di India. Ada maksud tertentu mengapa Pandawa bisa memerangi Prabu Kresna, mengapa musuh bebuyutan Prabu Kresna bisa berdamai dan semuanya berakhir baik. Ada pakar yang berpendapat, kakawin Hariwangsa ini dimaksudkan sebagai naskah sutradara dalam pementasan teater wayang orang.
Imajinasi dalam skenario pementasan teater wayang orang memang sangat berani, bahkan sampai sekarang pun pementasan wayang orang di Gedung Wayang Orang Sriwedari Solo yang dilakukan setiap malam penuh dengan skenario ‘surprise’, penuh kejutan. Bagaimana pun suasana batin Nusantara yang memerlukan perdamaian dari semua pihak memang dirasakan perlu dari zaman ke zaman.

Hariwangsa sendiri bermakna wangsa Hari, Garis Keturunan Tuhan, akan tetapi Kakawin Hariwangsa hanya berupa petikan tentang perkawinan Prabu Kresna dengan Dewi Rukmini.
Beberapa uraian dalam tulisan ini tidak berasal dari Kakawin Hariwangsa. Dasar utamanya adalah pemahaman spiritual yang diperoleh dari seorang Guru, ditambah masukan dari jelajah internet dan ‘kembangan’ pribadi, agar enak dibaca dan memperkaya skenario, walau inti cerita yang sudah pakem tidak berubah.


Prabu Jarasanda musuh Prabu Kresna

Alkisah Prabu Kresna titisan Wisnu diberitahu Bathara Narada, bahwa Dewi Sri telah menitis kepada Dewi Rukmini yang merupakan putri Prabu Bhismaka dari negeri Kundina. Akan tetapi Prabu Jarasanda sudah berkehendak mengawinkan Dewi Rukmini dengan Raja Cedi bernama Prabu Cedya.
Dalam cerita Mahabharata, Jarasanda adalah seorang raja di Kerajaan Magadha, putera dari Raja Brihadrata. Ia merupakan teman Sisupala, raja di Kerajaan Chedi. Ia bermusuhan dengan Kresna dari Dwaraka. Konon Sisupala dan Dantavakra adalah titisan ketiga dari Raksasa Jaya dan Wijaya, sepasang pengawal Bathara Wisnu di kahyangan. Titisan pertama sebagai Hiranyaksa dan Hiranyakasipu dan titisan kedua sebagai Rahwana dan Kumbakarna.
Rupanya Mpu Panuluh paham bahwa seakan sudah menjadi skenario alam bahwa titisan Wisnu akan bertarung melawan titisan Rahwana dalam memperebutkan seorang putri. Walaupun dalam Kakawin Hariwangsa disebutkan nama Prabu Cedya, tetapi berasal dari negeri Cedi, kerajaannya Sisupala.

Konon seorang raja bernama Brihadata dari Kerajaan Magadha bertapa untuk mendapatkan keturunan sebagai putra mahkota. Seorang resi memberi satu buah ajaib untuk dimakan sang isteri. Karena Prabu Brihadata mempunyai dua orang istri, maka buah tersebut dibagi dua. Setelah kedua istrinya hamil, mereka melahirkan masing-masing bayi separo badan dan segera dibuang ke hutan. Seorang raksasa bernama Jara memungut kedua paruhan tubuh dan menyatukannya. Saat disatukan bayi tersebut hidup dan menangis. Bayi tersebut diberi nama ‘Jarasanda’, disatukan oleh Jara dan dikembalikan ke Prabu Brihadata.

Jarasanda merupakan raja yang kuat dan ekspansif. Karena tidak mempunyai putra, maka kedua putrinya dikawinkan dengan Prabu Kamsa, musuh besar Prabu Kresna. Setelah Kamsa dibunuh Prabu Kresna, maka dendam Jarasanda menggunung dan selalu menyerang kerajaan Mandura dan Dwarawati. Konon dia menyerang sampai delapan belas kali, dan penyerangan terakhir melibatkan sahabatnya Sisupala raja Cedi.
Latar belakang Jarasanda yang pendendam tersebut rupanya mengilhami Mpu Panuluh untuk membuat kisah perkawinan Prabu Kresna versi Nusantara. Persatuan antar negeri di Nusantara harus diselesaikan dengan perdamaian. Skenario persatuan tersebut diulangi oleh Mpu Tantular pada zaman Majapahit sehingga pertentangan antara Umat Buddha dan Umat Siwa pun diselesaikan dengan damai dalam kisah Sutasoma. Semoga para penulis di Nusantara terketuk untuk membuat tulisan yang menyatukan beberapa umat berbeda yang berada di Nusantara. Semuanya harus berakhir damai. Gusti, Hyang Widhi meridhoi. Sebetulnya semuanya adalah satu, keserakahan ‘mind’-lah yang membuat perselisihan. Setelah memahami jati diri maka semuanya adalah satu. Bhinneka Tunggal Ika. Sesungguhnya semuanya itu satu adanya.
Setiap kali kita menghirup napas, kita menghirup 10 pangkat 22 atom dari alam semesta. Sejumlah atom tersebut masuk ke tubuh kita menjadi sel-sel otak, jantung, paru-paru dan lainnya. Setiap kali kita menghembuskan napas, kita mengeluarkan atom 10 pangkat 22 yang terdiri dari kepingan otak, jantung, paru-paru dan lainnya. Secara teknis, kita mempertukarkan organ tubuh kita dengan organ tubuh orang lain, dengan orang yang pernah hidup, bahkan dengan semua makhluk, semua zat, yang pernah hidup. Berdasarkan perhitungan isotop-isotop radio aktif, tubuh kita memiliki jutaan atom yang pernah singgah di tubuh orang-orang suci dan orang-orang genius dan semua orang. Dalam waktu kurang dari 1 tahun, 98% dari semua atom dalam tubuh kita telah berganti secara total. Atom yang sama ada pada tubuhku dan ada pada tubuhmu. Bahan kita bahan alam yang sama. Selanjutnya, atom-atom terdiri dari partikel-partikel, partikel adalah fluktuasi dari energi. Segala-galanya di bumi ini sejatinya adalah energi. Hakekatnya kita semua adalah satu. Bhinneka Tunggal Ika.

Bukankah sewaktu tubuh kita sehat, tidak ada keluhan, nyaman dan penuh vitalitas, kita merasa tubuh kita adalah satu. Baru setelah ada bagian tubuh yang sakit, misalnya gigi. Kita baru bilang gigi, bagian dari tubuhku sakit. Rasa keterpisahan terjadi ketika kita sedang tidak sehat. Keterpisahan kita dengan seluruh mahluk karena kita tidak sehat. Orang yang sehat merasa satu.

 Prabu Kresna melarikan Dewi Rukmini pada malam sebelum hari perkawinannya

Para tamu undangan perkawinan Dewi Rukmini dengan Raja Cedi sudah pada datang, ketika pada malam hari sebelum hari ‘H’ Prabu Kresna melarikan Dewi Rukmini ke Dwarawati. Prabu Bhismaka sangat marah, akan tetapi para raja yang diundang takut menghadapi kesaktian Prabu Kresna. Prabu Jarasanda mempunyai sifat keahlian memecah belah, karena sewaktu lahirnya tubuh dia pun terbelah. Sebagai seorang ahli pemecah belah, segera dia mengutus caraka untuk segera menghadap Pandawa yang mempunyai komitmen untuk menegakkan Kebenaran.

Prabu Yudistira berada dalam dilema, Prabu Kresna adalah sahabat yang selalu membantunya. Akan tetapi sang caraka meyakinkan bahwa keharuman nama Yudistira sebagai penegak dharma akan jatuh apabila membiarkan Prabu Kresna melakukan pencurian seorang wanita di malam sebelum perkawinannya. Sebagai kompromi Prabu Yudistira menyanggupi untuk meminta Prabu Kresna menyerahkan Dewi Rukmini kepada ayahandanya, apabila Prabu Kresna menolak Pandawa akan ikut memeranginya. Bhima kurang setuju pendapat Yudistira, karena dia paham watak licik Jarasanda yang merupakan sahabat para Korawa, akan tetapi dia tetap patuh terhadap Kakaknya, Prabu Yudistira.

Tidak lama kemudian, datang pula caraka Prabu Kresna untuk minta bantuan Pandawa. Sang caraka menjelaskan bahwa Dewi Rukmini memang mencintai Prabu Kresna, dan memisahkan dua orang yang saling mengasihi merupakan perbuatan tercela yang dikutuk alam semesta. Nasi telah menjadi bubur, kata yang diucapkan Yudistira tidak dapat ditarik kembali.

‘Mind’ memang membingungkan. Gusti, Hyang Widhi tidak menyukai keangkuhan. Penyerahan dirilah yang disukai-Nya. Ada beberapa jenis penyerahan yang bukan penyerahan diri :

     -. Cara pedagang transaksi, setuju asal mendapat keuntungan;

     -. Cara politisi berkompromi, sama-sama tidak optimal keuntungannya;

     -. Cara pejabat bernegosiasi, tergantung bagaimana hasil pendekatannya.

Semua merupakan upaya tetapi masih dikendalikan ‘mind’. ‘Mind’ Yudistira yang bertransaksi, berkompromi dan bernegosiasi. Kalau yang terlibat hanya ‘mind’ bukan Gusti, Hyang Widhi yang terlibat. Kalau ada aroma kasih, baru melibatkan Gusti. Upaya-upaya untuk menggapai kasih sejati dinyanyikan oleh para ‘Aachaarya’, para Guru Zaman. Kasih dapat dicapai dengan cara melepaskan diri dari keterikatan duniawi. Kadang ‘no mind’, kadang ‘with mind’ yang penting kasih.

Kita lahir telanjang, tidak memakai apa-apa, tidak tahu apa-apa, kalaupun ada yang kita punyai, hanyalah sifat genetik bawaan yang nantinya akan kelihatan kalau kita sudah lebih besar. Kemudian kita belajar dari ibu, keluarga, sekolah dan lingkungan. Semua itu kemudian membentuk suatu kerangka. Kerangka yang berupa kumpulan pengetahuan masa lalu kita, kerangka dari semua ide kita, kerangka ‘mind’. Jadi, kalau kita menganggap suatu hal benar, maka sebetulnya adalah kebenaran menurut kerangka ‘mind’ kita. Seandainya kita mendapatkan sistem pendidikan yang berbeda, tempat kelahiran berbeda, lingkungan yang juga berbeda, apakah kerangka ‘mind’ kita juga masih sama? Sehingga wajar kalau semua orang mempunyai pemikiran, kerangka ‘mind’ yang berbeda-beda, karena beda genetik, beda pengalaman, beda lingkungan, beda pendidikan. Pada waktunya Yudistira akan menyadari cara kerja ‘mind’ dan akan melampauinya dan akan selalu bertindak penuh kasih.

 Peperangan di Dwarawati

Prabu Kresna jelas menolak untuk mengembalikan Dewi Rukmini dan malah menyiapkan bala tentara menghadapi musuh yang dibantu para Pandawa. Dalam menghadapi serangan musuh, Prabu Kresna dibantu kakaknya Prabu Baladewa. Perang pun terjadi dan Prabu Jarasanda, para Korawa, Bhima, Nakula dan Sadewa tewas, sedangkan Prabu Yudistira pingsan dibius Prabu Kresna.

Pertarungan mati-matian antara Prabu Kresna dan Arjuna berjalan sangat hebat. Akhirnya keduanya berubah wujud sebagai Bathara Wisnu dan suasana menjadi hening. Prabu Yudistira siuman dari pingsannya, kemudian menutup matanya dan berdoa minta Bathara Wisnu menyembuhkan semuanya. Bathara Wisnu menyentuh semua ksatria yang telah mati maupun yang masih hidup. Semua ksatria yang sebelumnya telah merasakan kematian menjadi sadar. Sentuhan seorang Master dapat meningkatkan kesadaran dalam diri. Bagaikan aliran listrik, energi seorang Master dapat langsung mempengaruhi otak, sehingga kebiasaan-kebiasaan yang tidak menunjang peningkatan spiritual akan terlepaskan dengan sendirinya. Lupakan masa lalu. Masa lalu setiap orang pasti bernoda. Sebelum bersandar sepenuhnya pada kehendak Ilahi, kehidupan manusia selalu terombang-ambing. Yang penting masa kini. Upaya di masa kini akan menjamin kegemilangan masa depan.
Mereka bersalam-salaman saling memaafkan dan semuanya menghadiri perkawinan Dewi Rukmini dengan Prabu Kresna di Dwarawati.

Doc. Source : http://2.bp.blogspot.com/_RtUxUYEE7k0/TLVMjGtqEfI/AAAAAAAADnk/VmET1bKoz-s/s400/krisna28.jpg

Tinggalkan komentar